Kelestarian & Penyelamatan Ekosistem Bawah Laut
Kelestarian ekosistem bawah laut di kawasan Taman Nasional Bunaken (TNB) sedang terancam. Penyebabnya aktivitas penduduk Manado, kegiatan pariwisata bahari, binatang pemakan karang, dan pemanasan global. Bagaimana upaya untuk menyelamatkannya?
Kelestarian ekosistem bawah laut di kawasan Taman Nasional Bunaken (TNB) sedang terancam. Penyebabnya aktivitas penduduk Manado, kegiatan pariwisata bahari, binatang pemakan karang, dan pemanasan global. Bagaimana upaya untuk menyelamatkannya?
Jumat, 27 Maret 2009, di tepian Pantai Boulevard, Manado, Sulawesi Utara, berkumpul 120 anggota TNI AL dan 110 anggota Brimob. Ke-120 anggota TNI AL yang dipimpin Komandan Lantamal VIII Laksamana Pertama TNI Willem Rampangilei dan para anggota Brimob di bawah pimpinan Wakil Kepala Polisi Daerah Komisaris Besar Arnold Kondong itu tengah mengikuti program sapu pantai dan laut.
Program yang digagas oleh peneliti oseanografi dari Laboratorium Amakusa Marine Biological, Universitas Kyushu, Jepang, JR Pahlano Daud, itu diikuti pula 15 mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi, Manado, serta 20 mahasiswa dan dosen Sekolah Tinggi Ilmu Pariwisata Manado. Kegiatan sapu laut diikuti 65 penyelam dari Manado, Bali, Bandung, dan Jakarta. Semua yang terlibat dalam kegiatan sapu pantai dan laut itu datang secara sukarela.
Pahlano menjelaskan kegiatan sapu pantai dan laut merupakan salah satu upaya kecil menyelamatkan lingkungan di kawasan konservasi Taman Nasional Bunaken (TNB) Manado. Di perairan laut sekitar TNB telah teridentifikasi sekitar 400 jenis karang sebagai pembentuk utama ekosistem terumbu. Ekosistem terumbu karang tersebut menjadi habitat dari 1.000 jenis ikan. Beberapa di antaranya hiu, pari, giant travely, skipjack, marlin, dan mola-mola. Ada pula jenis ikan mamalia, seperti dugong, hiu paus, paus, dan lumba-lumba.
Sayangnya, kondisi TNB saat ini cukup memprihatinkan akibat tingginya aktivitas penduduk Manado yang menghasilkan limbah organik maupun anorganik. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2007, jumlah penduduk Manado sekitar 422.653 orang dengan tingkat kepadatan mencapai 2.686 orang per kilometer persegi. Kepadatan penduduk tersebut, kata Pahlano, menjadi ancaman serius terhadap kelestarian laut. Pasalnya Kota Manado memiliki posisi strategis menghadap ke TNB.
Untuk mengatasi permasalahan itu, Pahlano menyarankan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, khususnya Pemerintah Kota Manado, mereduksi sampah, terutama yang berasal dari daratan Manado agar tidak masuk ke TNB. Selain itu, perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat mengenai perilaku-perilaku yang salah dan mengancam kelestarian sumber daya alam.
Permasalahan yang terjadi di TNB tidak hanya bersumber dari aktivitas masyarakat di darat, tapi juga aktivitas bahari. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan Pahlano, pada periode 2004-2008 jumlah wisatawan yang melakukan kegiatan snorkeling dan diving di TNB meningkat sekitar 11 ribu orang per tahun. Menurut Pahlano, kedua kegiatan itu dapat menyebabkan batang maupun cabang karang patah, terutama jika kegiatan itu dilakukan oleh mereka yang belum berpengalaman.
Persoalan tersebut dapat diatasi dengan cara meningkatkan kualitas pengarahan dari operator diving yang diikuti pengawasan dan penegakan hukum. Pemerintah setempat juga perlu melakukan diversifikasi dan perluasan dive spot yang selama ini jumlahnya baru 35 lokasi, terutama ke pesisir Teluk Manado.
Hewan Pemakan Karang
Kerusakan terumbu karang di sekitar TNB selain disebabkan aktivitas manusia juga akibat “ulah” hewan pemakan karang. Menurut Pahlano, hewan karang yang dikenal masyarakat setempat dengan nama pumparade itu merupakan jenis bintang laut yang berduri (Acanthaster planci). Sedangkan para peneliti umumnya menyebut hewan itu crown of thorns starfish (COTs).
Organisme COTs memang merupakan bagian dari ekosistem terumbu, namun apabila melimpah dalam jumlah besar dapat memusnahkan terumbu karang dalam waktu singkat. Sekarang ini, tutur Pahlano, kepadatan populasi COTs secara umum bergerak pada kisaran intermediate ke high density yang terjadi di Bunaken Timur, Barat, Siladen, dan beberapa lokasi di Manado Tua. Sedangkan di Nain rata-rata berada pada level low-intermediate.
Jika populasi COTs tidak segera diatasi, dalam waktu dekat akan terjadi active outbreak dimulai dari Pulau Bunaken bagian selatan yang kemudian tersebar ke lokasi lain,” kata Pahlano. Suatu daerah dikategorikan mengalami active outbreak apabila populasi COTs jumlahnya lebih dari 30 induk per hektare. Apabila ukuran COTs mencapai diameter 18 sentimeter, maka hewan itu akan menjadi sangat ganas dan memangsa dengan cepat karang dalam areal dengan luasan hingga ribuan hektare.
Pertambahan COTs diperparah dengan semakin sulitnya dijumpai predator COTs, seperti triton (bia tromper) di kawasan TNB. Bahkan, terdapat fenomena COTs yang biasanya menyukainya karang dari famili Acroporaridae maupun karang bercabang (branching) tidak lagi berlaku di TNB.
Karang yang telah dimakan COTs, kata Pahlano, akan meninggalkan tulang kapur putih di bagian rataan terumbu (reef flat). Hal itu menyebabkan karang menjadi rapuh dan sangat rentan terhadap arus, ombak, dan gempa. Akibatnya, ikan-ikan dan organisme lain yang biasanya berlimpah di daerah rataan karang berpindah ke bagian ujung terumbu (reef edge) dan dinding terumbu (reef wall). Selain itu, beberapa di antara spesies ikan kemungkinan tidak mampu beradaptasi alias mati.
Karang yang berada di bagian dinding terumbu yang tidak mampu menahan bagian rataan terumbu pada akhirnya dikhawatirkan longsor dan runtuh. Apabila hal itu terjadi, tentunya memerlukan waktu lama bagi karang untuk membentuk terumbu yang ada seperti sekarang. Beberapa terumbu seperti di Cela-cela dan Bunaken Utara telah memperlihatkan gejala tersebut. Pengangkatan COTs secara langsung dengan hati-hati dari terumbu akan lebih efektif dan efisien ketimbang memakai bahan-bahan kimia.
Permasalahan yang dihadapi terumbu karang di TNB juga erat kaitannya dengan isu pemanasan global (global warming). Menurut Pahlano, pemanasan global dapat menyebabkan terumbu karang berada dalam kondisi kritis. Hal itu dikarenakan terjadi pengasaman laut (ocean acidification) akibat peningkatan karbondioksida dan peningkatan suhu laut (ocean warming).
Kelestarian ekosistem bawah laut di kawasan Taman Nasional Bunaken (TNB) sedang terancam. Penyebabnya aktivitas penduduk Manado, kegiatan pariwisata bahari, binatang pemakan karang, dan pemanasan global. Bagaimana upaya untuk menyelamatkannya?
Jumat, 27 Maret 2009, di tepian Pantai Boulevard, Manado, Sulawesi Utara, berkumpul 120 anggota TNI AL dan 110 anggota Brimob. Ke-120 anggota TNI AL yang dipimpin Komandan Lantamal VIII Laksamana Pertama TNI Willem Rampangilei dan para anggota Brimob di bawah pimpinan Wakil Kepala Polisi Daerah Komisaris Besar Arnold Kondong itu tengah mengikuti program sapu pantai dan laut.
Program yang digagas oleh peneliti oseanografi dari Laboratorium Amakusa Marine Biological, Universitas Kyushu, Jepang, JR Pahlano Daud, itu diikuti pula 15 mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi, Manado, serta 20 mahasiswa dan dosen Sekolah Tinggi Ilmu Pariwisata Manado. Kegiatan sapu laut diikuti 65 penyelam dari Manado, Bali, Bandung, dan Jakarta. Semua yang terlibat dalam kegiatan sapu pantai dan laut itu datang secara sukarela.
Pahlano menjelaskan kegiatan sapu pantai dan laut merupakan salah satu upaya kecil menyelamatkan lingkungan di kawasan konservasi Taman Nasional Bunaken (TNB) Manado. Di perairan laut sekitar TNB telah teridentifikasi sekitar 400 jenis karang sebagai pembentuk utama ekosistem terumbu. Ekosistem terumbu karang tersebut menjadi habitat dari 1.000 jenis ikan. Beberapa di antaranya hiu, pari, giant travely, skipjack, marlin, dan mola-mola. Ada pula jenis ikan mamalia, seperti dugong, hiu paus, paus, dan lumba-lumba.
Sayangnya, kondisi TNB saat ini cukup memprihatinkan akibat tingginya aktivitas penduduk Manado yang menghasilkan limbah organik maupun anorganik. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2007, jumlah penduduk Manado sekitar 422.653 orang dengan tingkat kepadatan mencapai 2.686 orang per kilometer persegi. Kepadatan penduduk tersebut, kata Pahlano, menjadi ancaman serius terhadap kelestarian laut. Pasalnya Kota Manado memiliki posisi strategis menghadap ke TNB.
Untuk mengatasi permasalahan itu, Pahlano menyarankan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, khususnya Pemerintah Kota Manado, mereduksi sampah, terutama yang berasal dari daratan Manado agar tidak masuk ke TNB. Selain itu, perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat mengenai perilaku-perilaku yang salah dan mengancam kelestarian sumber daya alam.
Permasalahan yang terjadi di TNB tidak hanya bersumber dari aktivitas masyarakat di darat, tapi juga aktivitas bahari. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan Pahlano, pada periode 2004-2008 jumlah wisatawan yang melakukan kegiatan snorkeling dan diving di TNB meningkat sekitar 11 ribu orang per tahun. Menurut Pahlano, kedua kegiatan itu dapat menyebabkan batang maupun cabang karang patah, terutama jika kegiatan itu dilakukan oleh mereka yang belum berpengalaman.
Persoalan tersebut dapat diatasi dengan cara meningkatkan kualitas pengarahan dari operator diving yang diikuti pengawasan dan penegakan hukum. Pemerintah setempat juga perlu melakukan diversifikasi dan perluasan dive spot yang selama ini jumlahnya baru 35 lokasi, terutama ke pesisir Teluk Manado.
Hewan Pemakan Karang
Kerusakan terumbu karang di sekitar TNB selain disebabkan aktivitas manusia juga akibat “ulah” hewan pemakan karang. Menurut Pahlano, hewan karang yang dikenal masyarakat setempat dengan nama pumparade itu merupakan jenis bintang laut yang berduri (Acanthaster planci). Sedangkan para peneliti umumnya menyebut hewan itu crown of thorns starfish (COTs).
Organisme COTs memang merupakan bagian dari ekosistem terumbu, namun apabila melimpah dalam jumlah besar dapat memusnahkan terumbu karang dalam waktu singkat. Sekarang ini, tutur Pahlano, kepadatan populasi COTs secara umum bergerak pada kisaran intermediate ke high density yang terjadi di Bunaken Timur, Barat, Siladen, dan beberapa lokasi di Manado Tua. Sedangkan di Nain rata-rata berada pada level low-intermediate.
Jika populasi COTs tidak segera diatasi, dalam waktu dekat akan terjadi active outbreak dimulai dari Pulau Bunaken bagian selatan yang kemudian tersebar ke lokasi lain,” kata Pahlano. Suatu daerah dikategorikan mengalami active outbreak apabila populasi COTs jumlahnya lebih dari 30 induk per hektare. Apabila ukuran COTs mencapai diameter 18 sentimeter, maka hewan itu akan menjadi sangat ganas dan memangsa dengan cepat karang dalam areal dengan luasan hingga ribuan hektare.
Pertambahan COTs diperparah dengan semakin sulitnya dijumpai predator COTs, seperti triton (bia tromper) di kawasan TNB. Bahkan, terdapat fenomena COTs yang biasanya menyukainya karang dari famili Acroporaridae maupun karang bercabang (branching) tidak lagi berlaku di TNB.
Karang yang telah dimakan COTs, kata Pahlano, akan meninggalkan tulang kapur putih di bagian rataan terumbu (reef flat). Hal itu menyebabkan karang menjadi rapuh dan sangat rentan terhadap arus, ombak, dan gempa. Akibatnya, ikan-ikan dan organisme lain yang biasanya berlimpah di daerah rataan karang berpindah ke bagian ujung terumbu (reef edge) dan dinding terumbu (reef wall). Selain itu, beberapa di antara spesies ikan kemungkinan tidak mampu beradaptasi alias mati.
Karang yang berada di bagian dinding terumbu yang tidak mampu menahan bagian rataan terumbu pada akhirnya dikhawatirkan longsor dan runtuh. Apabila hal itu terjadi, tentunya memerlukan waktu lama bagi karang untuk membentuk terumbu yang ada seperti sekarang. Beberapa terumbu seperti di Cela-cela dan Bunaken Utara telah memperlihatkan gejala tersebut. Pengangkatan COTs secara langsung dengan hati-hati dari terumbu akan lebih efektif dan efisien ketimbang memakai bahan-bahan kimia.
Permasalahan yang dihadapi terumbu karang di TNB juga erat kaitannya dengan isu pemanasan global (global warming). Menurut Pahlano, pemanasan global dapat menyebabkan terumbu karang berada dalam kondisi kritis. Hal itu dikarenakan terjadi pengasaman laut (ocean acidification) akibat peningkatan karbondioksida dan peningkatan suhu laut (ocean warming).
0 Response to Kelestarian & Penyelamatan Ekosistem Bawah Laut
Posting Komentar