Alat Ukur Induksi


Induksi adalah suatu keadaan listrik hasil akibat adanya medan magnet yang bangkit disekitar kumparan berarus listrik. Bila suatu konduktor ditempatkan dalam medan magnit dari arus bolak-balik, maka arus-arus putar akan dibangkitkan didalam konduktor tersebut. Medan-medan magnit dari arus-arus putar ini dan dari arus bolak-balik yang menyebabkannya, akan memberikan interaksi yang menimbulkan momen gerak pada konduktor; dan prinsip ini akan mendasari kerja daripada alat-alat ukur induksi.

Alat ukur induksi merupakan alat ukur ynag momen geraknya ditimbulkan oleh suatu fluks magnit dan arus bolak-blik. Alat lazim untuk mengukur energi (KWh meter) walaupun ada juga untuk arus maupun tegangan.

Arus energi mempunyai dua fluks magnet yang dihasilkan dari suatu arus mengalir pada kumparan. Kedua magnet fluks tersebut memotong piringan.

Piringan dipotong oleh 2 fluks magnet 1 dan 2 pada titik P1 dan P2. Fluks ke-1 1 menyebabkan arus pusar 1 (I1). Arus pusar ini melalui titik P2. Interaksi yang terjadi antara I1 dan  menyebabkan momen gerak I (Mg1). Demikian juga 2 menyebabkan momen arus pusar 2 (I2) yang melalui P1 dan interaksi arus pusar 2 (I2) dan fluks 2 (2) menyebabkan momen gerak 2 (Mg2).

Alat ukur induksi ini mempunyai sistem perputaran sederhana dan kokoh, lagi pula, mudah dibuat sebagai alat ukur dengan sudut penunjukan yang lebar. Suatu aspek yang lain daripada alat ukur induksi ini, adalah kemungkinan didapatkannya momen putar yang relatif besar. Akan tetapi alat ukur ini penggunaanya hanya untuk arus balak-balik, dan sebagai alat penunjuk , hanya dipergunakan pada panil panil listrik.

Alat ukur induksi ini dapat diklasifikasikan dalam medan yang berputar atau medan yang bergerak; akan tetapi pada bagian ini hanya dari type medan yang bergerak, akan dijelaskan lebih lanjut. Prinsip ini juga dipergunakan dalam alat-alat ukur enersi pada arus balak-balik.

Seperti yang telah dikemukakan diatas bahwa alat ukur azas induksi ini hanya dapat digunakan untuk besar AC, dan pada umumnya hanya digunakan sebagai alat ukur energi (energy kWh-meter). Prinsip kerjanya berdasarkan gaya interaksi antara flux magnet AC dengan arus Eddy pada piringan aluminium atau piringan tembaga.


Bila impedansi lintasan arus pusar sebesar Z maka harga efektif arus pusar :
l1 = el / z = w / z . ǿ1


Resultan kedua momen tersebut menyebabkan berputarnya piringan :
Mg = Mg1 – Mg2
Mg = K. 1. 2 Sin Cos

Untuk mendapatkan momen gerak yang besar diusahakan :
1. Sin = 1 : maka beda fasa sudut antara 1 dan 2 adalah 90.
2. Cos = 1 : maka ada beda sudut fasa antara I dan E.

Terdapat 2 jenis alat ukur induksi, yaitu:

Ferraris Type (Tipe belah phasa)
Beda phasa diperoleh dengan cara menambahkan tahanan shunt pada salah satu rangkaian kutubnya.


Shaded Pole
Beda phasa diperoleh dengan cara memasang ring atau cincin pada salah satu kutubnya. Ring atau cincin ini bekerja seperti lilitan sekunder trafo, dimana akan terjadi induksi terlebih dahulu pada ring,sehingga fluksnya akan menjadi terlambat dibandingkan dengan flux dari kutub yang satunya. Alat ukur induksi menggunakan redaman arus Eddy, jadi piringan berfungsi untuk menghasilkan torsi kerja dan sekaligus berfungsi untuk menghasilkan torsi redam.

-)Karakteristik alat ukur induksi:

1. Hanya untuk besaran AC
2. Tingkat ketelitian rendah
3. Redaman efektif
4. Pemakaian daya
5. Terpengaruh frekuensi dan suhu
6. Skala tidak uniform.

ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN


A. Konsep Dasar Kebijakan Pendidikan

Duke dan Canady (1991) mengelaborasi konsep kebijakan dengan delapan arah pemaknaan kebijakan, yaitu: (1) kebijakan sebagai penegasan maksud dan tujuan, (2) kebijakan sebagai sekumpulan keputusan lembaga yang digunakan untuk mengatur, mengendalikan, mempromosikan, melayani, dan lain-lain pengaruh dalam lingkup kewenangannya, (3) kebijakan sebagai panduan tindakan diskresional, (4) kebijakan sebagai strategi yang diambil untuk memecahkan masalah, (5) kebijakan sebagai perilaku yang bersanksi, (6) kebijakan sebagai norma perilaku dengan ciri konsistensi, dan keteraturan dalam beberapa bidang tindakan substantif, (7) kebijakan sebagai keluaran sistem pembuatan kebijakan, dan (8) kebijakan sebagai pengaruh pembuatan kebijakan, yang menunjuk pada pemahaman khalayak sasaran terhadap implementasi sistem.

Ketika memberikan pengantar untuk paparan sejumlah kasus kebijakan pendidikan di beberapa negara maju, Hough (1984) memberikan kontribusi sangat berarti bagi para pengkaji kebijakan pendidikan. Kontribusi ini terutama menyangkut isu-isu konseptual dan teoretik yang mampu memberikan kerangka pemahaman utuh bagi analisis kebijakan pendidikan.

Hough (1984) juga menegaskan sejumlah arti kebijakan. Kebijakan bisa menunjuk pada seperangkat tujuan, rencana atau usulan, program-program, keputusan-keputusan, menghadirkan sejumlah pengaruh, serta undang-undang atau peraturan-peraturan. Bertolak dari konseptualisasi ini, misalnya, ujian nasional merupakan salah satu bentuk kebijakan pendidikan. Ujian nasional memadai untuk dikategorikan sebagai kebijakan karena: (1) dengan jelas dimaksudkan untuk mencapai seperangkat tujuan, (2) senantiasa menyertakan rencana pelaksanaan, (3) merupakan program pemerintah, (4) merupakan seperangkat keputusan yang dibuat oleh lembaga dan atau pejabat pendidikan, (5) menghadirkan sejumlah pengaruh, akibat, dampak dan atau konsekuensi, (6) dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan peraturan lembaga terkait.

B. Daur Kebijakan Pendidikan

Kontribusi Hough (1984) yang juga sangat penting adalah penjelasannya mengenai tahapan-tahapan dalam proses kebijakan. Kerangka analisis yang ditujukan pada proses kebijakan mencakup: (1) Kemunculan isu dan identifikasi masalah, (2) perumusan dan otorisasi kebijakan, (3) implementasi kebijakan, (4) dan perubahan atau pemberhentian kebijakan.

Pada tahap kemunculan isu dan identifikasi masalah, dilakukan pengenalan terhadap suatu masalah atau persoalan yang memerlukan perhatian pemerintah, masalah-masalah yang memdapat tempat dalam agenda publik serta agenda resmi, serta mobilisasi dan dukungan awal bagi strategi tertentu.

Pada tahap perumusan dan otorisasi kebijakan, dilakukan eksplorasi berbagai alternatif, perumusan seperangkat tindakan yang lebih dipilih, usaha-usaha untuk mencapai konsensus atau kompromi, otorisasi formal strategi tertentu seperti melalui proses legislasi, isu pengaturan atau penerbitan arahan-arahan.

Pada tahap implementasi, dilakukan interpretasi terhadap kebijakan dan aplikasinya terhadap kasus tertentu, serta pengembangan satu atau lebih program sebagai alternatif yang dipilih untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

Pada tahap penghentian atau perubahan kebijakan, dilakukan penghentian karena masalah telah dipecahkan, kebijakan tidak berhasil atau hasilnya dinilai tidak diinginkan, melakukan perubahan mendasar berdasarkan umpan-balik, atau mengganti kebijakan tertentu dengan kebijakan baru.

Aspek kedua yang harus dikaji dalam analisis kebijakan pendidikan adalah konteks kebijakan. Ini harus dilakukan karena kebijakan tidak muncul dalam kebampaan, melainkan dikembangkan dalam konteks seperangkat nilai, tekanan, kendala, dan dalam pengaturan struktural tertentu. Kebijakan juga merupakan tanggapan terhadap masalah-masalah tertentu, kebutuhan serta aspirasi yang berkembang.

Aspek ketiga yang harus dikaji dalam analisis kebijakan pendidikan adalah pelaku kebijakan. Aktor kebijakan pendidikan bisa dikategorikan menjadi dua, yaitu: para pelaku resmi dan pelaku tak resmi. Pelaku resmi kebijakan pendidikan adalah perorangan atau lembaga yang secara legal memiliki tanggungjawab berkenaan dengan pendidikan. Aktor tak resmi kebijakan pendidikan adalah individu atau organisasi yang terdiri dari kelompok kepentingan, partai politik, dan media. Dalam aktor kebijakan resmi, juga dibagi-bagi lagi --- tetapi mengikuti sistem pemerintahan negara yang dikaji --- mulai dari pejabat senior hingga partai politik, lembaga pendidikan, lain-lain lembaga terkait pendidikan, dan antar badan antar pemerintah.

Pada aktor informal, atau tak resmi, terdapat kelompok kepentingan, partai politik, serta media massa. Kelompok kepentingan ini antara lain serikat guru, asosiasi yang mewakili jenis atau jenjang pendidikan tertentu, asosiasi yang mewakili peserta didik, asosiasi yang mewakili pimpinan perguruan tinggi, hingga asosiasi yang mewakili orangtua peserta didik.

Berdasarkan seluruh kajian yang dilakukan, memang tidak mungkin untuk disimpulkan secara umum. Namun demikian, jelas bahwa kadang-kadang kebijakan pendidikan secara terbuka dan hati-hati dihentikan, dimodifikasi, dihaluskan, atau diganti dengan kebijakan lain.

C. Implementasi Kebijakan Pendidikan

Grindle (1980) menempatkan implementasi kebijakan sebagai suatu proses politik dan administratif. Dengan memanfaatkan diagram yang dikembangkan, jelas bahwa proses implementasi kebijakan hanya dapat dimulai apabila tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang semula bersifat umum telah dirinci, program-program aksi telah dirancang dan sejumlah dana/biaya telah dialokasikan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran tersebut. Ini merupakan syarat-syarat pokok bagi implementasi kebijakan publik apapun.

Tanpa adanya syarat-syarat tersebut, maka kebijakan publik boleh dikatakan sekedar retorika politik atau slogan politik. Secara teoretik pada tahap implementasi ini proses perumusan kebijakan dapat digantikan tempatnya oleh proses implementasi kebijakan, dan program-program kemudian diaktifkan. Tetapi dalam praktik, pembedaan antar tahap perumusan kebijakan dan tahap implementasi kebijakan sebenarnya sulit dipertahankan, karena umpan balik dari prosedur-prosedur implementasi mungkin menyebabkan diperlukannya perubahan-perubahan tertentu pada tujuan-tujuan dan arah kebijakan yang sudah ditetapkan. Atau aturan-aturan dan pedoman-pedoman yang sudah dirumuskan ternyata perlu ditinjau kembali sehingga menyebabkan peninjauan ulang terhadap pembuatan kebijakan pada segi implementasinya.

Sumber: 111-pengantar-analisis-kebijakan-pendidikan.html

Penegakan Hukum Merosot



KONDISI penegakan hukum di Indonesia terus merosot. Hasil survei menunjukkan, pada Juli 2009, 54 persen masyarakat memandang penegakan hukum di Indonesia baik. Namun, angka ini menurun menjadi 37 persen pada Januari 2010. Sebaliknya, masyarakat yang memandang penegakan hukum buruk melonjak dua kali lipat, dari 15 persen pada Juli 2009 menjadi 32 persen pada Januari 2010.

Masyarakat menilai, secara umum program 100 hari pemerintahan SBY-Boediono di bidang hukum—seperti pemberantasan korupsi—belum ada terobosan baru. Indikasinya terlihat dari dua institusi penegak hukum yaitu kepolisian dan kejaksaan yang tidak ada terobosan baru. Bahkan, kedua institusi itu cenderung terjebak dalam persoalan internal yang menimbulkan keprihatinan publik.

Di tingkat lokal, kondisi penegakan hukum di Aceh juga terus merosot. Kalau mau jujur, para hamba hukum kita memang belum semuanya komit menegakkan supremasi hukum secara sungguh-sungguh.

Lemahnya penegakan hukum dan merajalelanya korupsi menjadi persoalan besar yang masih melilit Aceh. Semua itu bukan mustahil akan bermuara (semoga saja tidak) pada lahirnya benih-benih konflik baru. Masih kentalnya budaya kolusi, korupsi, dan manipulasi menjadi faktor yang paling mempengaruhi kondisi Aceh saat ini.

Selain itu, kurangnya kesadaran petinggi di Aceh menegakkan norma-norma hukum dalam lingkungannya telah menurunkan ketaatan dan kepatuhan masyarakat pada hukum. Intinya, bagaimana masyarakat mentaati hukum sementara para penegak hukum sendiri masih suka ‘bermain-main’ dengan hukum.

Pemerintah dan aparat penegak hukum di Aceh hingga kini masih menunjukkan kepada masyarakat bahwa hukum seperti mata pisau, tajam di bawah dan tumpul di atas. Ia menjadi tajam ketika berhadapan dengan rakyat kecil, dan menjadi tumpul saat berhadapan dengan pejabat dan para penguasa.

Kalau pola penegakan hukum seperti ‘mata pisau’ masih berlaku di negeri ini, jangan harap kita akan terlepas dari berbagai persoalan yang berpotensi melahirkan konflik baru di Aceh. Dan, jangan salahkan rakyat bila membangkang terhadap hukum.

Karenanya, aparat harus membuktikan bahwa kedudukan warga negara sama di depan hukum, sehingga rakyat menghormati hukum. Kalau keadilan sudah ditegakkan, benih-benih konflik pun secara otomatis akan terkikis habis dengan sendirinya.

Sumber: http://blog.harian-aceh.com

Persetujuan Perbatasan Negara



Pemerintah Australia (bertindak atas nama sendiri dan atas nama Pemerintah Papua New Guinea) dan Pemerintah Indonesia, Mengingat Perjanjian antara Pemerintah Australia dan Pemerintah Indonesia tertanggal dua b las Pebruari 1973 yang, antara lain, menetapkan secara lebih tepat dalam hal-hal tertentu garis-garis b tas darat di pulau Irian (New Guinea) dan menetapkan b tas laut wilayah di tepi pantai-pantai sebelah utara dan selatan pulau itu,

Mengakui perlunya melindungi hak-hak tradisionil dan kebiasaan penduduk yang bertempat tinggal di dekat perbatasan yang ditetapkan oleh garis-garis ba tas itu, Mengakui pula semangat kerjasama, saling pengertian dan saling menghargai yang telah ada sehubungan dengan administrasi perbatasan dan daerah perbatasan serta pengaturan-p ngaturan yang telah ada antara kedua Pemerintah untuk liaison dan tujuan-tujuan lain yang berhubungan dengan itu, Mengakui pula diperlukannya peningkatan lebih lanjut tingkat kerjasama, saling menghargai dan saling pengertian serta pengokohan dan penyempurnaan lebih lanjut pengaturan-p ngaturan yang telah ada dan untuk tujuan ini perumusan suatu kerangka kerja yang luas yang di kemudian hari akan mengatur perbatasan dan daerah-daerah perbatasan tersebut, Memperhatikan bahwa Papua New Guinea sedang menjadi bangsa yang merdeka,

Mengakui pula bahwa hingga saat kemerdekaan pengaturan perbatasan yang bertalian dengan perbatasan disebelah Papua New Guinea akan dilaksanakan oleh Pemerintah Papua New Guinea dengan pengertian bahwa setelah kemerdekaan, Australia akan mengakhiri tanggung jawabnya mengenai pengaturan pengaturan seperti itu, Sebagai tetangga-tetangga baik dan dalam semangat persahabatan serta kerjasama,

Telah menyetujui sebagai berikut:

Pasal 1

Untuk tujuan Perse tujuan ini daerah perbatasan pada sebelah menyebelah perbatasan adalah daerah-daerah yang telah diberitahukan dengan surat-surat dan secara garis besar digambarkan dalam peta-peta yang dipertukarkan pada atauperbatasan dapat dirubah dari waktu ke waktu dengan cara pertukaran suratsurat dan peta-peta setelah konsultasi bersama.

Pasal 2. PENGATURAN-PENGATURAN LIAISON

1. Pembentukan liaison yang berhubungan dengan masalah-masalah perbatasan diterima sepenuhnya. Pengaturan-pengaturan dibuat untuk mengatur tugas dan tata cara kerja liaison pada tiap tingkat.

2. [Hingga bersama-sama diatur lain kemudian, pengaturan-pengaturan liaison yang sudah ada dilanjutkan dan] 1 pertemuan-pertumuan liaison diselenggarakan:

(a) Oleh pejabat-pejabat senior dari Pemerintah Propinsi Irian Jaya dan Pemerintah Papua New Guinea apabila diminta oleh salah satu Pemerintah dengan pemberitahuan yang wajar, sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun, untuk meninjau kembali dan mengembangkan kerjasama perbatasan;

(b) Oleh pejabat-pejabat Kabupaten Jayapura, Jayawijaya dan Merauke serta pejabat-pejabat West Sepik dan Western Districts dengan selang waktu yang teratur tetapi sekurang-kurangnya setiap dua bulan; dan

(c) Oleh pejabat-pejabat kecamatan-kecamatan dan sub-distrik-sub-distrik bersangkutan dengan selang waktu yang teratur tetapi sekurang-kurangnya setiap dua bulan, tempat pertemuannya ditentukan setempat.

3. Tujuan-tujuan utama daripada pengaturan liaison adalah:

(a) Pertukaran informasi mengenai seluruh perkembangan dalam daerah perbatasan yang merupakan kepentingan bersama kedua Pemerintah;

(b) Merencanakan, merubah atau mengadakan pengaturan-pengaturan untuk memudahkan pelaksanaan praktis, khususnya pada tingkat daerah dan Distrik, ketentuan-ketentuan Persetujuan ini;

(c) Untuk menjamin agar kedua Pererintah senantiasa diberitahu tentang perkembangan hal-hal penting yang berhubungan dengan daerah-daerah perbatasan dan bahwa perhatian mereka diminta terhadap setiap masalah yang memerlukan konsultasi sesuai dengan Persetujuan ini.

Permasalahan Perbatasan Negara



Indonesia adalah negara kepulauan dengan jumlah pulau yang mencapai 17.499 pulau dan luas wilayah perairan mencapai 5,8 juta km2, serta panjang garis pantai yang mencapai 81.900 km2. Dua pertiga dari wilayah Indonesia adalah laut, implikasinya adalah hanya ada tiga perbatasan darat dan sisanya adalah perbatasan laut. Perbatasan laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara diantaranya Malaysia, Singapura, Filipina, India, Thailand, Vietnam, Republik Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini. Sedangkan untuk wilayah darat, Indonesia berbatasan langsung dengan tiga negara, yakni Malaysia, Papua Nugini, danTimor Leste dengan panjang garis perbatasan darat secara keseluruhan adalah 2914,1 km.





Daerah perbatasan merupakan wilayah pembelahan kultural sebuah komunitas yang dianggap berasal dari satu akar budaya yang sama namun oleh kebijakan pemerintah dua negara bertetangga, akhirnya dibagi menjadi dua entitas yang berbeda. Daerah perbatasan juga merupakan cerminan dari tingkat kemakmuran antara dua negara dan tidak jarang, daerah ini menjadi ajang konflik antara penduduk yang berbeda kewarganegaraannya karena tujuan-tujuan tertentu. Bahkan daerah perbatasan merupakan salah satu wilayah yang potensial untuk melakukan penyelundupan dan merugikan negara dalam jumlah besar, bahkan kerugian negara untuk darat dan laut bila dinominalkan bisa mencapai ± 20 milyar US$ per tahun. Sedangkan Kemiskinan merupakan masalah klasik di daerah perbatasan, yang sampai sekarang belum tuntas ditangani. Daerah perbatasan juga sangat rawan terjadi tindak illegal logging dimana penyebabnya adalah beberapa patok tapal batas Indonesia dan negara tetangga, yaitu Malaysia, rusak dimakan waktu serta hilang atau terkubur oleh alam.


Menyadari fenomena permasalahan perbatasan ini, kiranya perlu upaya konkret untuk mengantisipasi dan meminimalisasi persoalan tersebut. Luasnya wilayah perbatasan laut dan darat Indonesia tentunya membutuhkan dukungan sistem manajemen perbatasan yang terorganisir dan profesional, baik itu ditingkat pusat maupun daerah. Potensi permasalahan yang banyak dan kompleks itu tentu saja tidak dapat diatasi secara parsial tetapi memerlukan penanganan yang serentak dan menyeluruh. Seluruh elemen baik itu Pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, TNI, Kepolisian, imigrasi, serta bea dan cukai bertanggung jawab untuk terlibat secara langsung penanganan permasalahan daerah perbatasan. Walaupun otoritas pengelolaan keamanan di perbatasan sendiri telah lama diserahkan kepada TNI sebagai wujud dari penerapan Undang-Undang No. 34, tahun 2004 mengenai Tentara Nasional Indonesia (TNI) bahwa wewenang untuk menjaga keamanan di area perbatasan adalah salah satu fungsi pokok dari TNI. Akan tetapi Pemda harus lebih intens lagi memperhatikan daerah perbatasan yang menjadi kewenangannya sesuai dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pengaturan tentang pengembangan wilayah perbatasan di kabupaten/kota secara hukum berada dibawah tanggung jawab pemerintah daerah tersebut. Kewenangan pemerintah pusat hanya ada pada pintu-pintu perbatasan (border gate) yang meliputi aspek kepabeanan, keimigrasian, karantina, keamanan dan pertahanan (CIQS). Meskipun demikian, pemerintah daerah masih menghadapi beberapa hambatan dalam mengembangkan aspek sosial-ekonomi kawasan perbatasan.


Tidak dipungkiri daerah perbatasan memiliki nilai strategis dan seluruh pilar komponen bangsa hendaknya bersatu padu dengan visi dan misi untuk membangun daerah perbatasan dan seluruh petinggi negeri memahami dan mengerti serta tahu akan pentingnya daerah perbatasan sebagai pondasi untuk menopang wilayah yang bersebelahan dengan Negara tetangga. Bahkan seminar mengenai daerah perbatasan sudah berulang kali akan tetapi belum kelihatan greget realisasinya. Sebagai contoh daerah perbatasan Kalimantan dan Malaysia dimana masalah frontier ekonomi yang menjadi kendala berporos pada dibutuhkannya anggaran yang besar untuk membangun perekonomian penduduk daerah perbatasan, sementara kehidupan penduduk negara tetangga perekonomiannya jauh lebih baik. Dari berbagai persoalan yang muncul seperti illegal logging, human trafficking maupun penyerobotan wilayah ini, maka melahirkan persepsi bahwa wilayah perbatasan adalah rawan dan rentan terhadap konflik dan pelanggaran hukum tanpa memperhatikan persoalan-persoalan lain. Sebagai akibatnya wilayah perbatasan selalu didefinisikan dan dipahami secara hitam putih dengan cap negatif. Hal ini merupakan satu sisi dari realita perbatasan yang jauh lebih kompleks dan berwarna.


Semua pihak hendaknya merasa pembangunan daerah perbatasan adalah kewajiban yang harus direalisasikan bersama. Pihak Pemda merencanakan melalui surve, studi kelayakan dalam merencanakan pembangunan prioritas apa yang harus didahulukan dan hendaknya harus sinkron antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat termasuk pemecahan dan jalan keluarnya, karena tanpa adanya kerjasama yang harmonis, tidak mungkin akan tercipta kesinambungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam penanganan masalah daerah perbatasan. TNI sendiri telah berusaha dengan keras menjaga wilayah perbatasan khususnya sepanjang kawasan perbatasan Kaltim dan Kalbar dengan negara Malaysia telah dibangun 41 pos serta ditempatkan sejumlah personil TNI guna pengamanan dan memperkecil kemungkinan pelanggaran terhadap kedaulatan perbatasan Indonesia. Walaupun dalam pelaksanaan tugasnya, personel TNI tanpa didukung sarana dan prasarana yang memadahi semisal kendaraan khusus untuk patroli, sedangkan tiap pos jaraknya bisa mencapai lebih dari 50 Km. Jadi “seelit” apapun pasukan TNI yang ditugaskan dengan beban tugas yang sangat berat dimana harus melalui hutan belantara, maka akan terasa sulit dan diluar kemampuan untuk menghadapi gangguan keamanan yang muncul pada wilayah perbatasan.


Alternatif penanganan yang bisa saya munculkan sebagai sumbang saran bagi pemerintah adalah penambahan pos perbatasan serta penambahan personel TNI yang dilengkapi dengan sarana pendukungnya dan tidak kalah penting tentunya pemberian stimulus dalam bentuk konkret untuk merangsang semangat para prajurit yang bertugas di daerah perbatasan. Perlunya direalisasikan pembangunan sabuk pengaman. Sebab sabuk pengaman dipandang penting dalam menetralisir segala kejahatan. Manfaat lain sabuk pengaman itu sendiri adalah dapat diwujudkan untuk meningkatkan kegiatan-kegiatan perekonomian masyarakat, sehingga seluruhnya bermuara kepada peningkatan pertahanan kita. Terlebih bila sentra-sentra ekonomi melalui kegiatan pemda diteruskan dengan bimbingan kepada masyarakat sebagai petani plasma, sehingga melalui pembangunan sabuk pengaman serta pembangunan sentra-sentra ekonomi masyarakat sekitar perbatasan maka pertahanan secara otomatis akan meningkat dan terwujud kokohnya pertahanan nasional di daerah perbatasan.


Bilamana negara belum mampu membangun sabuk pengaman, maka dapat ditemukan alternatif lain seperti melibatkan pengusaha pribumi dengan kompensasi dari negara dengan pembebasan lahan kanan kiri sabuk pengaman serta pelebaran tertentu yang kemudian dapat diambil hasil hutannya dan dikompensasikan dalam bentuk jalan, yang selanjutnya bisa dimanfaatkan sebagai perkebunan sekaligus diarahkan kepada masyarakat setempat dalam hal pengelolaannya melalui pembinaan yang intensif sebagai petani-petani plasma. Alternatif ini hanya tercetus dari keinginan seorang penulis yang kiranya belum teramat mendalami permasalahan diatas namun memiliki keyakinan bahwa pembangunan masyarakat daerah perbatasan tujuannya adalah meningkatkan pertahanan nasional dan juga dalam rangka menghadapi krisis global. Sebab masalah daerah perbatasan adalah masalah bagi kita semua elamen bangsa dan diharapkan semua ikut andil pemikiran untuk bersama-sama memecahkannya sebagai bentuk peduli kita pada kedaulatan bangsa Indonesia.

Kapasitor Bank



Kapasitor Bank adalah beberapa s3kumpulan sekumpulan kapasitor yang dihubungkan paralel HANYA JIKA akan diperlukan untuk memperbaiki nilai cos phi, dengan bantuan alat kontrol automatis cos phi (multi step controller). Sedangkan untuk audio (mobil) yang dipakai adalah sebuah kapasitor dengan nilai yang sangat besar (farad) dan tidak disebut Kapasitor Bank, melainkan Super Kapasitor.

Fungsi kapasitor itu memperbaiki Cos phi. Cos phi itu faktor daya, V.A.cos phi = Watt. Meteran listrik itu mengukur ENERGI (Watt hour), bukan mengukur DAYA/Power (VA)
Meteran listrik = kWh meter. Fungsinya jauh berbeda, kalau untuk audio berfungsi sebagai back up pada saat peak (beban puncak) akibat tarikan Sub Woofer agar tegangan tidak drop. Biasa dipakai pada pabrik2 dengan daya lumayan besar, yang berfungsi untuk memperbaiki (bukan me
nghemat) nilai cos phi.

Tegangan (V) relatif konstan (220V) bila ditambah kapasitor, maka cos phi akan NAIK, karena fungsi kapasitor akan menaikkan faktor daya. Besar cos phi itu dari 0 s/d 1 Kalau cos phi naik, Daya tetap, Tegangan tetap, maka yang TURUN adalah ARUSnya. makanya ada fenomena, bila sebelum pakai kapasitor 3 unit AC ngga bisa hidup, sekarang pakai kapasitor, 3 AC bisa hidup, MCB utama tidak jatuh. Karena MCB itu MEMBATASI ARUS. (Arusnya sudah turun karena dipasang capacitor sehingga tidak MCB tidak jatuh, tetapi Cos phi nya naik, kWh nya Tetap). Jadi, yang di pajang di mall-mall dengan bahan demo lampu TL dan ampere meter itu benar secara teknis. saat dipasang Kapasitor, arus di ampere meter TERLIHAT turun, karena Cos phi nya naik. Tapi kalau disitu ada dipasang kWh meter, jumlah energi yang diukur akan TETAP.

Kesimpulannya : Kapasitor BUKAN alat untuk menghemat ENERGI = kWH
Tetapi alat untuk menurunkan arus listrik yang mengalir, dengan cara memperbaiki faktor daya.

Misal dalam mobil kapasitor bank merupakan komponen yang penting contoh isitilahnya kaya jika kita isi bensin premium dengan pertamax, ketika sama-sama mobilnya jalan, tidak mogok, malah larinya menjadi lebih kencang. Nah kalo di kapasitor bank itu fungsinya bisa untuk memperbesar voltage arus listrik yg masuk ke power., karena voltagenya jadi tinggi, otomatis tenaga power naik jadi lebih BIG POWER OUTPUT

Kapasitor bank bukan hanya sudah cadangan listrik saja dikala ngedrop aliran listrik dari aki (kalo tidak pake stabilizer dan sejenisnya listrik jadi turun naik yg masuk ke power), jadi masih punya back up untuk
pasokan listrik audio..

Kapasitor bank itu menstabilkan tegangan yang masuk ke dalam sistem. Sehingga efek storing dari riple yang terjadi pada alternator bisa diminimalisasi. Selain itu juga dia berfungsi seperti untuk menyimpan listrik seperti pada aki. Kelebihannya dibanding dengan aki dia bisa menyimpan energi lebih cepat, juga bisa mengeluarkan energi tersebut dengan cepat.

Jadi misalkan terjadi suara bass lag pada sistem, biasanya bisa diobati dengan penggunaan kapasitor bank. Sebenarnya kapasitor bank itu sama ama kapasitor biasa, hanya muatan listriknya saja yang berbeda yakni kapasitor lebih besar.

Kapasitor pada umumnya bukan hanya kapasitor bank saja itu untuk mengurangi daya kejut(karena pengunaan transformer ato gulungan2 -coil - ) dimana yang membutuhkan daya kejut yang sangat besar...dan dapat digunakan.sebagai filter agar arus yang ada dalam system lebih smooth(halus), dengan adanya gulungan akan timbul medan magnet (inductance=L) dan pergeseran phase pada arus. Efek pada pergeseran phase pada Listrik DC. Tapi jika pada listrik AC, akan menyebabkan pemborosan listrik. Maka untuk menetralisir pergeseran phase ini digunakan kapasitor.

Rumus: L= 1/C

C=1/L.

Mungkin pada listrik DC pergeseran phase ini tidak terlalu berpengaruh, karena perubahan medan magnetnya kecil (disebabkan riple tegangan), sehingga fungsi kapasitor lebih kearah penyimpanan energi.

Dalam penggunaan kapasitor bank dalam audio kemungkinan besar ada masalah pada alternator, Jika ada pengetahuan sedikit dengan listrik mungkin bisa diperbaiki sendiri
1. Cek alternator menggunakan IC
2. Kalau pake IC coba lakukan ini :
a. Periksa kepala aki ada yang kotor atau kendor
b. Kalau ada bersihkan atau kencangkan
c. Kalau tidak coba cek kabel yang keluar dari alternator, kemungkinan ada kabel yang lepas.
d. Kalau tidak ada yang lepas cabut socketnya, kemudian bersihkan menggunakan WD atau penetrant, lalu pasang lagi

Perkembangan Kelembagaan Partai Politik



Studi tentang parpol berpendapat bahwa salah satu faktor terpenting keberhasilan kerja partai adalah kekuatan organisasi mereka. Kekuatan inilah yang menunjang tumbuh dan kuatnya akar mereka di masyarakat. Dari segi sudut pandang ini, setelah lebih dari setengah abad kita merdeka, partai politik di Indonesia masihlah dalam tahap awal perkembangan. Dilihat dari aspek-aspek dasar seperti ideologi dan platform, parpol di Indonesia yang ada sekarang ini tidak jelas identitasnya. Ideologi dan program hanyalah pernyataan yang kosong belaka. Ideologi bagi partai adalah suatu idealisme yang menjadi garis besar bagi kegiatan dan organisasi partai. Bisa jadi karena identitas yang kurang kuat inilah, partai Indonesia secara umum masih mencari jati dirinya.

Sangat sulit membedakan partai-partai Indonesia–selain dengan mengelompokkan mereka dalam kelompok partai agamis dan sekuler. Dari segi ini pun terkadang ada partai yang terlihat berusaha menggabungkan kedua unsur ini. Partai Amanat Nasional, misalnya, berusaha menggabungkan citra nasionalisnya dengan kedekatannya terhadap Muhammadiyah. Lemahnya ideologi bahkan bisa dilihat dalam partai-partai utama. Partai besar, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), pun masih amat bergantung pada karisma Mbak Mega (Megawati Soekarnoputri) untuk menarik pendukung. Padahal, demi kelangsungan organisasinya, partai ini seharusnya sudah bisa “mengalihkan” dukungan terhadap pemimpin menjadi dukungan terhadap identitas dan organisasi partai.

Dilihat dari kacamata organisasi fisik, partai-partai kita juga masih sangat lemah. Di tingkat masyarakat, hanya partai-partai besar yang mampu terus eksis di luar masa kampanye dan pemilu. Kebanyakan partai masih “tidur” kalau tidak ada pemilu, dan cabang-cabang mereka juga tutup. Kemampuan untuk tetap aktif sangat bergantung pada kapasitas cabang partai dan komitmen pemimpin di tingkat lokal. Lagi pula, cabang lokal juga sangat bergantung pada ketersediaan dana untuk tetap mengadakan aktivitas. Sebagian besar partai juga masih mengontrak kantor cabangnya, dan hanya partai Orde Baru yang punya kantor tetap. Walhasil, kalau mereka sulit mendapat kontrakan, aktivitas juga terhenti dan partai menjadi vakum.

Kalau dilihat dengan lebih teliti lagi, komitmen para pemimpin pun sulit dicapai. Bagi partai besar, biasanya pemimpin mereka memegang jabatan lokal (seperti wali kota atau bupati) atau menduduki kursi legislatif. Biasanya, dengan adanya jabatan ini, sangat sulit bagi mereka untuk membagi waktu dengan partai, walaupun ada partai-partai yang menganjurkan kadernya meninggalkan jabatan partai ketika terpilih sebagai calon legislator. Di saat yang sama, bagi sebagian besar aktivis partai, kegiatan kepartaian adalah sambilan atau hobi, sedangkan pekerjaan utama mereka biasanya menyita sebagian besar waktu mereka.

Kembali ke segi dana, partai di Indonesia sangatlah segan bersikap terbuka tentang masalah sumber dana mereka. Para pemimpin tingkat lokal biasanya hanya mengindikasikan adanya “donasi” dari pendukung partai, tanpa mengidentifikasi dan menjelaskan lebih lanjut. Padahal, partai yang lebih melembaga harusnya bisa menggantungkan diri pada iuran anggotanya sendiri. Jadi, hubungan macam apa yang dibangun antara kalangan bisnis dan partai politik kurang transparan dan dampaknya terhadap kinerja partai politik juga patut diperhatikan.

Dengan kapasitas organisasi yang seperti ini, sangat sulit bagi partai politik Indonesia membangun hubungan yang stabil dengan para pendukung dan anggotanya. Dari segi rekrutmen, partai-partai besar biasanya hanya mengandalkan pada suara yang didapat pada pemungutan suara sebelumnya. Partai-partai seperti PDIP dan Golkar kurang mementingkan rekrutmen dan lebih menggantungkan diri pada popularitas partainya saat pemilu.

Adapun partai-partai muda, seperti PKS dan PAN, memang memprioritaskan rekrutmen anggota baru, tetapi kemampuan mereka untuk merekrut sangatlah berbeda. PKS terlihat lebih mampu untuk konsisten menjalankan program rekrutmen, sedangkan PAN tertatih-tatih untuk mempertahankan eksistensinya di tingkat lokal. Hanya dengan komitmen para kadernya, cabang PAN dapat tetap bertahan–tetapi aktivitasnya sangat terbatas. Dengan manajemen anggota yang semacam ini, tidaklah mengherankan bahwa partai biasanya mengejar produk “jadi” dari selebritas sebagai calon anggota legislatif mereka. Memang tren ini menandakan ketidakmampuan dan kemalasan partai untuk mendidik dan memupuk kadernya sendiri. Tapi bisa juga ini karena kegagalan partai untuk berkembang pada masa lalu, dan pada masa reformasi ini pun mereka juga masih dalam tahap awal perkembangannya. Jadi, terutama bagi partai muda, belum ada kader yang siap maju.

Jadi, apakah ada kemajuan bagi partai di masa reformasi? Sebetulnya kemajuan mereka sangat berarti. Terobosan besar mereka adalah mereka sudah mampu menentukan nasib mereka sendiri, tidak seperti zaman Orba ketika mereka sangat diatur oleh pemerintah. Dengan adanya kebebasan ini, mereka bisa tetap aktif di luar masa pemilu–walaupun ini ternyata jadi tantangan untuk beberapa partai. Meskipun penelitian penulis mungkin tidak berlaku untuk daerah-daerah lain di Indonesia, tetap saja data ini menjadi indikasi penting bagi tingkat kemajuan parpol di Tanah Air.

Kesimpulan penulis, keberhasilan partai bergantung pada bagaimana mereka menggunakan kebebasan yang ada sekarang untuk mengatur organisasinya. Partai-partai yang lebih bisa mengatur organisasinya, seperti Partai Golkar dan PKS, akan lebih mampu pula untuk tetap aktif di masa non-pemilu. Artinya, mereka juga lebih bisa eksis di tingkat lokal. Sebaliknya, sangat sulit bagi PAN untuk tetap eksis karena kemampuan organisasi mereka di tingkat lokal cukup rendah. Bagi partai yang bisa menggantungkan suaranya pada karisma pemimpin, seperti PAN dan PDIP, kemampuan organisasi lokal barangkali tidak terlalu penting, asalkan pemimpin mereka tetap di tampuk pemimpin. Akan tetapi, bila pemimpin berganti, kekuatan dukungan juga akan terpengaruh.

Walaupun mudah untuk bersikap pesimistis terhadap parpol Indonesia, harus diingat bahwa usia reformasi Indonesia masih teramat muda. Terlebih lagi, seperti yang dijelaskan pada awal artikel ini, parpol Indonesia tidak pernah berhasil berkembang dalam sejarah. Jadi, partai-partai yang ada sekarang butuh lebih banyak waktu untuk belajar, unjuk diri, dan membuktikan kemampuannya. Tetapi, tentu saja, lain partai lain kapasitasnya. Idealnya, pilihan rakyat akan menyaring dan menyingkirkan partai yang kurang kuat. Partai yang organisasinya lebih rapi akan lebih berhasil mengembangkan aktivitas dan platformnya, sehingga mereka akan lebih stabil eksistensinya di tingkat lokal. Partai yang kurang kuat bisa mencoba muncul lagi dan menarik hati pemilih, dan disaring lagi, demikian seterusnya.

Jadi, yang diperlukan oleh parpol bukan hanya dukungan, tapi juga kesabaran pemilih untuk memberikan kesempatan kepada parpol pilihan mereka. Perjalanan parpol Indonesia ke arah kemajuan masihlah panjang. Selagi kita belajar tentang demokrasi selama kurang-lebih sepuluh tahun terakhir, parpol kita juga sedang belajar tentang organisasi dan manajemen. Godaan dan tantangan tentu saja banyak–dan sangat mudah bagi parpol untuk menjadi non-aktif dan kembali ke praktek politik uang. Karena itulah partisipasi pemilih sangatlah penting untuk menyeleksi parpol yang kurang efisien. Pemilihan Umum 2009 nanti adalah ujian penting bagi kematangan, bukan hanya bagi parpol, tapi juga bagi pemilih dalam menentukan pilihannya.

Sumber : Harian Tempo, Rabu 18 Februari 2009

Pengaruh Globalisasi terhadap Kehidupan masyarakat Indonesia



Globalisasi biasanya erat kaitannya dengan pasar bebas dan persaingan yang ketat, yang menuntut setiap negara untuk menciptakan insan-insan dengan kualifikasi yang tinggi dengan nilai jual yang sangat kompetitif.

Disatu sisi ini merupakan suatu nilai positif dari globalisasi namun di sisi lainnya adalah suatu kerugian besar bagi umat manusia karena globalisasi hanya menuntun manusia sebagai mahluk pekerja yang cenderung kapitalis, yang melakukan semuanya semata-mata karena uang dan untuk memenuhi tuntutan pasar, rasa nilai-nilai tradisional berupa kebersamaan, kesamaan, kemanusiaan cenderung tersisih, hal ini akan mencetak manusia sebagai robot yang diprogram hanya untuk bersaing, mengalahkan yang lain untuk mendapat prestise dan kemakmuran semu.

Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai aspek sosial budaya yang beragam banyaknya. Secara spesifik keadaan sosial budaya Indonesia sangat kompleks, mengingat penduduk Indonesia berjumlah lebih dari 200 juta jiwa dalam 30 kesatuan suku bangsa. Indonesia memiliki 67 budaya induk yang tersebar dari barat sampai ke timur nusantara. Selain itu Indonesia terdiri atas 6000 buah pulau yang terhuni dari jumlah keseluruhan sekitar 13.667 pulau.

Pengaruh Globalisasi terhadap Budaya Bangsa:
Arus globalisasi saat ini telah menimbulkan pengaruh terhadap perkembangan budaya bangsa Indonesia . Derasnya arus informasi dan telekomunikasi ternyata menimbulkan sebuah kecenderungan yang mengarah terhadap memudarnya nilai-nilai pelestarian budaya. Perkembangan 3T (Transportasi, Telekomunikasi, dan Teknologi) mengkibatkan berkurangnya keinginan untuk melestarikan budaya negeri sendiri .

Budaya Indonesia yang dulunya ramah-tamah, gotong royong dan sopan berganti dengan budaya (meminjam istilah Band Zamrud) yang `gaul`, `fungky` dan doyan ngucapin `ember`.
Di Tapanuli (Sumatera Utara) misalnya, duapuluh tahun yang lalu, anak-anak remajanya masih banyak yang berminat untuk belajar tari tor-tor dan tagading (alat musik batak). Hampir setiap minggu dan dalam acara ritual kehidupan, remaja di sana selalu diundang pentas sebagai hiburan budaya yang meriah. Saat ini, ketika teknologi semakin maju, ironisnya kebudayaan-kebudayaan daerah tersebut semakin lenyap di masyarakat, bahkan hanya dapat disaksikan di televisi dan Taman Mini Indonesi Indah (TMII). Padahal kebudayaan-kebudayaan daerah tersebut, bila dikelola dengan baik selain dapat menjadi pariwisata budaya yang menghasilkan pendapatan untuk pemerintah baik pusat maupun daerah, juga dapat menjadi lahan pekerjaan yang menjanjikan bagi masyarakat sekitarnya.

Gaya berpakaian remaja Indonesia yang dulunya menjunjung tinggi norma kesopanan telah berubah mengikuti perkembangan jaman. Ada kecenderungan bagi remaja putri di kota-kota besar memakai pakaian minim dan ketat yang memamerkan bagian tubuh tertentu. Budaya perpakaian minim ini dianut dari film-film dan majalah-majalah luar negri yang ditransformasikan kedalam sinetron-sinetron Indonesia . Derasnya arus informasi, yang juga ditandai dengan hadirnya internet, turut serta `menyumbang` bagi perubahan cara berpakaian. Pakaian mini dan ketat telah menjadi trend dilingkungan anak muda.


Boleh dikatakan bahwa budaya yang merupakan sistem simbol dan norma dalam masyarakat Indonesia yang ada sekarang ini macet. Kemacetan budaya ini karena masyarakat kurang mengantisipasi dengan baik pengaruh globalisasi terhadap budaya bangsa sendiri. Lihat saja bagaimana takjubnya kita dengan kesenian asal negeri barat. Kita seolah tidak menghargai kesenian tradisional kita. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat kita kurang bisa mengantisipasi masuknya budaya asing.

Salah satu keberhasilan penyebaran kebudayaan Barat ialah meluasnya anggapan bahwa ilmu dan teknologi yang berkembang di Barat merupakan suatu yang universal. Masuknya budaya barat (dalam kemasan ilmu dan teknologi) diterima dengan `baik`. Pada sisi inilah globalisasi telah merasuki berbagai sistem nilai sosial dan budaya Timur (termasuk Indonesia ) sehingga terbuka pula konflik nilai antara teknologi dan nilai-nilai ketimuran.
Bagi masyarakat yang mencoba mengembangkan seni tradisional menjadi bagian dari kehidupan modern, tentu akan terus berupaya memodifikasi bentuk-bentuk seni yang masih berpolakan masa lalu untuk dijadikan komoditi yang dapat dikonsumsi masyarakat modern.

Karena sebenarnya seni itu indah dan mahal. Kesenian adalah kekayaan bangsa Indonesia yang tidak ternilai harganya dan tidak dimiliki bangsa-bangsa asing. Oleh sebab itu, sebagai generasi muda, yang merupakan pewaris budaya bangsa, hendaknya memelihara seni budaya kita demi masa depan anak cucu.