Perkembangan Kelembagaan Partai Politik
Studi tentang parpol berpendapat bahwa salah satu faktor terpenting keberhasilan kerja partai adalah kekuatan organisasi mereka. Kekuatan inilah yang menunjang tumbuh dan kuatnya akar mereka di masyarakat. Dari segi sudut pandang ini, setelah lebih dari setengah abad kita merdeka, partai politik di Indonesia masihlah dalam tahap awal perkembangan. Dilihat dari aspek-aspek dasar seperti ideologi dan platform, parpol di Indonesia yang ada sekarang ini tidak jelas identitasnya. Ideologi dan program hanyalah pernyataan yang kosong belaka. Ideologi bagi partai adalah suatu idealisme yang menjadi garis besar bagi kegiatan dan organisasi partai. Bisa jadi karena identitas yang kurang kuat inilah, partai Indonesia secara umum masih mencari jati dirinya.
Sangat sulit membedakan partai-partai Indonesia–selain dengan mengelompokkan mereka dalam kelompok partai agamis dan sekuler. Dari segi ini pun terkadang ada partai yang terlihat berusaha menggabungkan kedua unsur ini. Partai Amanat Nasional, misalnya, berusaha menggabungkan citra nasionalisnya dengan kedekatannya terhadap Muhammadiyah. Lemahnya ideologi bahkan bisa dilihat dalam partai-partai utama. Partai besar, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), pun masih amat bergantung pada karisma Mbak Mega (Megawati Soekarnoputri) untuk menarik pendukung. Padahal, demi kelangsungan organisasinya, partai ini seharusnya sudah bisa “mengalihkan” dukungan terhadap pemimpin menjadi dukungan terhadap identitas dan organisasi partai.
Dilihat dari kacamata organisasi fisik, partai-partai kita juga masih sangat lemah. Di tingkat masyarakat, hanya partai-partai besar yang mampu terus eksis di luar masa kampanye dan pemilu. Kebanyakan partai masih “tidur” kalau tidak ada pemilu, dan cabang-cabang mereka juga tutup. Kemampuan untuk tetap aktif sangat bergantung pada kapasitas cabang partai dan komitmen pemimpin di tingkat lokal. Lagi pula, cabang lokal juga sangat bergantung pada ketersediaan dana untuk tetap mengadakan aktivitas. Sebagian besar partai juga masih mengontrak kantor cabangnya, dan hanya partai Orde Baru yang punya kantor tetap. Walhasil, kalau mereka sulit mendapat kontrakan, aktivitas juga terhenti dan partai menjadi vakum.
Kalau dilihat dengan lebih teliti lagi, komitmen para pemimpin pun sulit dicapai. Bagi partai besar, biasanya pemimpin mereka memegang jabatan lokal (seperti wali kota atau bupati) atau menduduki kursi legislatif. Biasanya, dengan adanya jabatan ini, sangat sulit bagi mereka untuk membagi waktu dengan partai, walaupun ada partai-partai yang menganjurkan kadernya meninggalkan jabatan partai ketika terpilih sebagai calon legislator. Di saat yang sama, bagi sebagian besar aktivis partai, kegiatan kepartaian adalah sambilan atau hobi, sedangkan pekerjaan utama mereka biasanya menyita sebagian besar waktu mereka.
Kembali ke segi dana, partai di Indonesia sangatlah segan bersikap terbuka tentang masalah sumber dana mereka. Para pemimpin tingkat lokal biasanya hanya mengindikasikan adanya “donasi” dari pendukung partai, tanpa mengidentifikasi dan menjelaskan lebih lanjut. Padahal, partai yang lebih melembaga harusnya bisa menggantungkan diri pada iuran anggotanya sendiri. Jadi, hubungan macam apa yang dibangun antara kalangan bisnis dan partai politik kurang transparan dan dampaknya terhadap kinerja partai politik juga patut diperhatikan.
Dengan kapasitas organisasi yang seperti ini, sangat sulit bagi partai politik Indonesia membangun hubungan yang stabil dengan para pendukung dan anggotanya. Dari segi rekrutmen, partai-partai besar biasanya hanya mengandalkan pada suara yang didapat pada pemungutan suara sebelumnya. Partai-partai seperti PDIP dan Golkar kurang mementingkan rekrutmen dan lebih menggantungkan diri pada popularitas partainya saat pemilu.
Adapun partai-partai muda, seperti PKS dan PAN, memang memprioritaskan rekrutmen anggota baru, tetapi kemampuan mereka untuk merekrut sangatlah berbeda. PKS terlihat lebih mampu untuk konsisten menjalankan program rekrutmen, sedangkan PAN tertatih-tatih untuk mempertahankan eksistensinya di tingkat lokal. Hanya dengan komitmen para kadernya, cabang PAN dapat tetap bertahan–tetapi aktivitasnya sangat terbatas. Dengan manajemen anggota yang semacam ini, tidaklah mengherankan bahwa partai biasanya mengejar produk “jadi” dari selebritas sebagai calon anggota legislatif mereka. Memang tren ini menandakan ketidakmampuan dan kemalasan partai untuk mendidik dan memupuk kadernya sendiri. Tapi bisa juga ini karena kegagalan partai untuk berkembang pada masa lalu, dan pada masa reformasi ini pun mereka juga masih dalam tahap awal perkembangannya. Jadi, terutama bagi partai muda, belum ada kader yang siap maju.
Jadi, apakah ada kemajuan bagi partai di masa reformasi? Sebetulnya kemajuan mereka sangat berarti. Terobosan besar mereka adalah mereka sudah mampu menentukan nasib mereka sendiri, tidak seperti zaman Orba ketika mereka sangat diatur oleh pemerintah. Dengan adanya kebebasan ini, mereka bisa tetap aktif di luar masa pemilu–walaupun ini ternyata jadi tantangan untuk beberapa partai. Meskipun penelitian penulis mungkin tidak berlaku untuk daerah-daerah lain di Indonesia, tetap saja data ini menjadi indikasi penting bagi tingkat kemajuan parpol di Tanah Air.
Kesimpulan penulis, keberhasilan partai bergantung pada bagaimana mereka menggunakan kebebasan yang ada sekarang untuk mengatur organisasinya. Partai-partai yang lebih bisa mengatur organisasinya, seperti Partai Golkar dan PKS, akan lebih mampu pula untuk tetap aktif di masa non-pemilu. Artinya, mereka juga lebih bisa eksis di tingkat lokal. Sebaliknya, sangat sulit bagi PAN untuk tetap eksis karena kemampuan organisasi mereka di tingkat lokal cukup rendah. Bagi partai yang bisa menggantungkan suaranya pada karisma pemimpin, seperti PAN dan PDIP, kemampuan organisasi lokal barangkali tidak terlalu penting, asalkan pemimpin mereka tetap di tampuk pemimpin. Akan tetapi, bila pemimpin berganti, kekuatan dukungan juga akan terpengaruh.
Walaupun mudah untuk bersikap pesimistis terhadap parpol Indonesia, harus diingat bahwa usia reformasi Indonesia masih teramat muda. Terlebih lagi, seperti yang dijelaskan pada awal artikel ini, parpol Indonesia tidak pernah berhasil berkembang dalam sejarah. Jadi, partai-partai yang ada sekarang butuh lebih banyak waktu untuk belajar, unjuk diri, dan membuktikan kemampuannya. Tetapi, tentu saja, lain partai lain kapasitasnya. Idealnya, pilihan rakyat akan menyaring dan menyingkirkan partai yang kurang kuat. Partai yang organisasinya lebih rapi akan lebih berhasil mengembangkan aktivitas dan platformnya, sehingga mereka akan lebih stabil eksistensinya di tingkat lokal. Partai yang kurang kuat bisa mencoba muncul lagi dan menarik hati pemilih, dan disaring lagi, demikian seterusnya.
Jadi, yang diperlukan oleh parpol bukan hanya dukungan, tapi juga kesabaran pemilih untuk memberikan kesempatan kepada parpol pilihan mereka. Perjalanan parpol Indonesia ke arah kemajuan masihlah panjang. Selagi kita belajar tentang demokrasi selama kurang-lebih sepuluh tahun terakhir, parpol kita juga sedang belajar tentang organisasi dan manajemen. Godaan dan tantangan tentu saja banyak–dan sangat mudah bagi parpol untuk menjadi non-aktif dan kembali ke praktek politik uang. Karena itulah partisipasi pemilih sangatlah penting untuk menyeleksi parpol yang kurang efisien. Pemilihan Umum 2009 nanti adalah ujian penting bagi kematangan, bukan hanya bagi parpol, tapi juga bagi pemilih dalam menentukan pilihannya.
Sumber : Harian Tempo, Rabu 18 Februari 2009